Minggu, 07 Juli 2013

BATIK


    I.               PENDAHULUAN
Di Indonesia batik memiliki sejarah dan riwayat yang panjang. Di setiap wilayah Nusantara batik memiliki perkembangan yang khas dan menarik. Batik Indonesia berbeda dibandingkan dengan batik dari berbagai Negara. Batik dari mamcanegara bermotif geometris, sedang batik Indonesia kaya motif, oleh karena itu batik sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Sejarah Batik Pra Islam Masa Hindu-Budha?
B.     Bagaimana Batik Kasik Mas Kerajaan Islam?
C.     Bagaimana Batik Nusantara, Khas Batik Yogyakarta, dan Koleksi Batik Jawa Tengah?
D.    Bagaimana Proses Pembuatan Batik?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Sejarah Batik Pra Isam Masa Hindu-Budha
Batik secara historis berasal dari nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk  binatang dan tanaman. Dalam sejarahnya batik mengalami perkembangan yaitu dari corak binatang dan tanaman lambat  laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya.
Kapan tepatnya batik mulai tercipta masih menjadi tanda tanya. Namun motif  batik di Indonesia dapat ditemukan pada beberapa artefak budaya, seperti pada candi peninggalan masa Hindu-Budha. Motif dasar parang dapat ditemukan pada patung emas Syiwa (dibuat abad IX di Gemuruh, Wonosobo). Dasar motif ceplok ditemukan pada pakaian patung Ganesha di Candi Pawon dekat Candi Borobudur (abad IX). Batik juga ditemukan pada titik-titik dalam motif pada patung Padmipani di Jawa Tengah (abad VII-X). Motif lukis ditemukan pada patung Manjusri di Ngemplak Semongan, Semarang (abad X). Selanjutnya batik semakin eksis pada masa kerajaan Majapahit dengan wilayah dan kekuasaan yang sangat luas. Data yang pasti, sejarah dan perkembangan batik di Indonesia mulai jelas sejak kerajaan Matarm Islam, yang bersumber dari keraton seperti Parang rusak dan Semen Rama.

B.     Batik Klasik Masa Kerajaan Islam
Riwayat dan sejarah pembatikan didaerah Jawa Timur yang cukup berpengaruh adalah Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Pada waktu itu ada seorang keturunan dikerajaan Majapahit yang bernama Raden Katong, adik dari Raden Patah, Raden Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dengan mendirikan pesantren.
Pembuatan batik Cap di Ponorogo pada awal abad XX sangat terkenal dengan dalam pewarnaan nila yang tidak luntur. Oleh karena itu banyak pengusaha batik dari Banyumas dan Solo yang memberikan pekerjaan kepada para pengusaha batik di Ponorogo. Sejak masa itulah, batik Ponorogo terkenal diseluruh Indonesia dengan Batik Cap Mori Biru.
Kejayaan kerajaan Majapahit turut membantu menyebarluaskan seni batik. Saat kerajaan kehilangan pamornya, perkembangan batik di Nusantara tidak surut. Di daerah pedalaman di luar keraton dan daerah pesisir, batik terus berkembang dan semakin eksis. Perkembangan batik di Nusantara kembali bangkit dan mendapatkan titik terang pada saat kelahiran kerajaan Mataram Islam. Pusat kekuasaan kerajaan yang berada di Jawa Tengah telah turut mempengaruhi dan andil besar dalam perkembangan batik nasional, sehingga dapat memberi ciri khas identitas bangsa Indonesia.

C.    Batik Nusantara, Khas Batik Yogyakarta, dan Koleksi Batik Jawa Tengah
1.      Batik Nusantara
Setelah ditemukan dokumen sejarah yang ditulis dan dilukis di daun lontar, diketahui bahwa batik telah dikenal di Nusantara sejak abad XVII. Motif  batik saat itu masih didominasi bentuk binatang dan tanaman, kemudian mengalami perkembangan dan beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan relief candi, wayang dan sebagainya.
Beberapa kota di Indonesia yang memiliki riwayat dan sejarah batik serta memberi kontribusi besar terhadap perkembangan  batik di indonesia dalam buku Batik Nusantara karya Ani Wulandari sebagai beribkut:
a.       Mojokerto dan Tulungagung
Batik Mojokerto dan Tulungagung mempunyai corak dan warna sama yakni coklat muda atau biru tua. Tempat pembatikan yang terkenal adalah Desa Majan dan Simo (Tulungagung) dan Desa Kwali, Mojosari, Sidomulyo (Mojokerto).
b.      Ponorogo
Pembuatan batik Cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia I berakhir. Daerah Ponorogo pada awal abad XX sangat terkenal dengan bentuknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur. Batik ponorogo lebih dikenal dengan Cap Mori Biru.
c.       Kebumen
Batik Kebumen dikenal sejak awal abad XIX yang dibawa oleh pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah agama Islam. Batik pertama di Kebumrn dinamakan tengabang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas. Motif batik Kebumen pada umumnya adalah pohon-pohon dan burung.
d.      Banyumas
Perkembangan batik Banyumas berpusat di daerah Sukaraja dibawa oleh pengikut Pangeran Diponegoro setelah tahun 1830. Bahan kain yang dipakai hasil tenunan sederhana dan obat pewarna dari Tom dan mengkudu dengan warna merah bersemu kuning.
e.       Pekalongan
Hampir seluruh wilayah pesisir utara, pekalongan menjadi sentral kerajinan batik. Setiap sentral kerajinan batik memiliki ciri khas, baik dari segi tehnik, warna, cerah ornamen, maupun bahan. Masyarakat Pekalongan menjadikan kegiatan membatik sebagai kerajinan perdagangan. Banyaknya sentral kerajinan batik memacu pengrajin batik untuk terus termotivasi menciptakan kreasi-kreasi terbaru. Perkembangan batik Pekalongan sangat dipengaruhi selera pasar. Batik pekalongan memiliki beberapa ciri khas motif. Motif asli Pekalongan dikenal dengan motif Jlamprang. Motif ini termasuk golongan arah geometris dan nitik. Beberapa ahli mengatakan motif Jlamprang dari pengaruh Islam yang beranggapan ada larangan menggambar makhluk hidup dalam motif batik. Motif ini lahir dari pengusaha-pengusaha batik keturunan Arab. Pekalongan juga terkenal dengan motif buketan dan terang bulan.
f.       Batik Lasem
Kegiatan pembatikan di Lasem dikuasai oleh pengusaha Cina. Hal tersebut sangat menyebabkan pengaruk kebudayaan Cina sangat dominan seperti burung Hong, lokcam dan tumbal dengan ornamen Cina. Pengerjaan batik di Lasem biasanya dilakukan di tembok-tembok tertutup dengan merahasiakan resep-resep pengolahannya. Warna bercirikhas merah darah ayam. Berbeda degan pekalongan yang hampir sering terbuka.
g.      Batik Tuban
Dikerjakan Pengrajin sebagai kerjaan sambilan disela-sela kegiatan petani. Motif geometris batik Tuban banyak meniru struktur kain tenunan kembang. Batik dengan motif tumbukan dan binatang berupa motif sejenis Lockam dan burung Hoa juga berkembang di Tuban.
h.      Purworejo
Pembatikan di Purworejo muncul pada awal abad XIX dengan datangnya para pembatik dari Yogyakarta dan Solo. Perkembangan kerajinan batik di Purworejo lambat laun sebagian besar produksi dipengaruhi oleh gaya keraton, karena batik disini sebagian besar adalah orang-orang keraton yang ikut mengungsi ketika terjadi perang di Yogyakarta.
i.        Tasikmalaya
Tasikmalaya merupakan daerah basis pembuatan batik. Disana banyak pohon tarum yang digunakan untuk pembuatan batik. Sentral pembuatan batik Tasikmalaya adalah Desa Lurung Sukapura, dan kota Tasikmalaya. Batik Tasikmalaya ada sejak zaman perang Diponegoro ketika banyak orang Jawa Tengah mengungsi ke Jawa Barat. Pengungsian penduduk membawa serta kebudayaan batik dari tempat asal ke Tasikmalaya. Ornamen khas Tasikmalaya terletak antara abstrak klasik dan realistik
j.        Ciamis
Batik di Ciamis di kenal mulai awal abad XIX setelah berakhirnya perang Diponegoro tahun 1830. Motif batik Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan Ciamis terutama dalam hal motif dan warna. Perpaduan antara kedua tradisi yang sempat berbeda menjadikan batik Ciamis memiliki ciri khas.
k.      Cirebon
Batik cirebon sudah dikenal sejak abad XIII. Raja-raja dari kerajaan Cirebon sangat senang dengan lukisan. Sebelum mereka mengenal benang katun, lukisan menggunakan daun lontar. Sebagian besar batik Cirebon bermotifkan gambar dengan lambang hutan dan margasatwa.
2.      Khas Batik Yogyakarta
Ke-khasan batik Yogyakarta terletak pada keindahan motifnya yang menggunakan warna utama coklat soga dan biru wedelan yang semula lebih banyak menggunakan zat warna alami.
Menurut polanya batik Yogyakarta dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu geometris dan eo geometris. Yang termasuk dalam pola geometris adalah parang, lereng, kawung, ceplok dan nitik. Sedangkan yang termasuk keompok neogeometris adalah pola-pola semen.
Motif parang dan lereng adalah susunan motif dengan arah diagonal. Bedanya kalau motif parang merupakan deformasi bentuk senjata tradisional dengan diberi beberapa variasi dan isen-isen, sehingga motif lereng terdiri dari garis dan isian lainnya yang bersifat linier dan tanpa mlinjon.
Motif kawung dibentuk oleh empat buah lingkaran ellips yang bersinggungan pada satu titik pusat. Lingkaran ini diilhami oleh biji aren yang belah menjadi dua. Dengan beberapa variasi-variasi berupa titik, garis dan isian lainnya bentuk ini di ulang-uang dalam pola vertikal dan horizontal, sehingga memenuhi bidang lain.
Motif nitik merupakan tiruan kain tenun yang terwujud dalam titik-titik persegi dan balok kecil yang dibuat dengan canting khusus.motif semen berasal dari kata semi yang berarti berbagai macam tumbuhan. Pada motif ini sangat luas kemungkinannya karena dapat dipadukan dengan ragam hias tambahan lainnya. Antara lain burung, naga, candi, gunung, lidah api panggungan, lar atau sawat.
3.      Koleksi batik Jawa Tengah sebagai berikut:
1.      Batik Parang Barong
Motif parang barong yang pada awalnya hanya digunakan oleh para Raja. Motif parang sesungguhnya menggambarkan kekuasaan. Selaras dengan makna yang ada jika digunakan ksatria akan berlipat kekuatannya.
2.      Batik Sido Mukti
Mukti artinya kehidupan mulia dan luhur. Batik inimerupakan harapan supaya bisa tercapai kedudukan yang tinggi (luhur) dan diberi rezeki yang lebih (mulia)
3.      Batik Truntum
Motif batik truntum diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kencana (Permaisuri Sunan Paku Buwana III) bermakna cinta yang tumbuh kembali
4.      Batik Jlamprang
Motif batik jlamprang atau Yogjakarta dengan nama nitik adalah salah satu batik yang cukup popular diproduksi didaerah Krapyak Pekalongan.

D.    Proses Pembuatan Batik
Secara umum proses pembuatan batik melalui tiga tahapan, yaitu pemberian malam (lilin batik) pada kain, pewarnaan, dan pelepasan lilin dari kain.
Sebelum proses pembatikan pertama mempersiapkan bahan dan peralatan sebagai berikut:
1.      Menyiapkan kompor kecil sebagai pemanas malam, kemudian siapkan wajan kecil berisi malam (lilin batik). Malam yang dipanaskan harus mencair dengan sempurna, hal itu dimaksudkan agar malam dapat lancar keluar mealui ujung canting dan meresap daam mori. Panas atau bara api tidak boleh terlalu besar dan tidak boleh terlalu kecil. Apabila api terlalu besar akan menjialat malam daam wajan dan mengakibatkan malam hangus. Apabila api terlalu kecil, malam tidak mencair secara sempurna dan menyebabkan malam idak lancar ketika keluar melalui canting.
2.      Perlengkapan lain yang dipersiapkn adalah dingklik, gawangan, mori, letak duduk pembatik adalah diantara gawangan dan kompor. Letak gawangan disebelah kiri kompor disebelah kanan pembatik, Agar tidak terkena panas lilin (malam) yang menetes, maka diletakkan kain pengaman diatas kaki atau paha si pembatik.
3.      Pembatik memulai megang canting memulai mengerjakan batik. Cara memegang canting yang baik adalah dengan ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah seperti memegang pensil saat menulis. Hanya saja arah tangkai yang berbeda. Tangkai canting posisinya horizontal, posisi canting demikian bertujuan agar lilin dalam canting/nyamplungan tidak tumpah, setelah persiapan sudah semua maka berikutnya adalah proses pembatikan:
a.       Pemberian Lilin
Malam yang telah mendidih dalam wahan diciduk dengan cantingkemudian dibatik di atas mori yang telah digambar atau diberi motif dengan pensil sesuai dengan motif yang diinginkan
Sebelum dibatikkan canting ditiup terlebih dahulu dengan hati-hati. Hal ini untuk menghindari agar ilin dalam canting/ nyamplungan tidak tumpah, dan fungsi meniup lilin adalah;
1)      Mengembalikan cairan lilin ke dalam nyamplungan dan agar lilin tidak menetes sebelum ujung canting ditempelkan pada mori.
2)      Menghilangkan cairan lilin yang membasahi ujung canting sehingga goresan menjadi baik dan rapi.
3)      Untuk mengontrol kemungkinan ujung cating dari kemungkinan tersumbat oleh kotoran lilin atau menghilangkan kotoran-kotoran malam yang bisa menyumbat canting.
Apabila keadaan lilin sudah baik barulah digoreskan pada mori. Pada saat menggoreskan, tangan kiri sebaiknya diletakkan di balik mori sebagai landasan mori yang sedang digores denga canting. Proses pemberian liin yang sedang digores dengan canting. Proses pemberian lilin yang dilakukan para pembatik sekarang berbeda bila dibandingkan dengan prose pemberian lilin tradisional. Tahapan-tahapan mulai ditinggalkan untuk mencari praktisnya namun sebagian tidak dapat ditinggalkan seperti:
1.      Membatik Kerangka
Setelah mori di pola, canting digoreskan pada garis-garis gambar atau pola tersebut dengan menggunakan malam klowong. Pada tahap ini hasil pekerjaannya disebut batik kosongan. Canting yang dipergunakan dalam tahap ini adalah canting klowong.
2.      Ngisen-Iseni
Canting yang dipergunakan untuk ngisen-iseni adalah canting cucuk kecil. Ngisen-iseni artinya mengisi atau memberi isi. Canting isen ada bermacam-macam dan penggunaannya tergantung pada motif yang ada.
3.      Nembok
Motif batik tidak seluruhnya diberi warna atau akan diberi warna yang beraneka macam pada waktu proses pemalaman kain. Bagian-bagian yang tidak diberi warna ditutup dengancanting tembok dan menggunakan liin tembokan, tahapan ini disebut nemboki.
Pada tahap ini pembatikan harus teliti dan rata, tetapi warna tidak boleh tembus kebidang yang lain. Proses ini tidak hanya dilakukan pada dasar motif tetapi juga dilakukan untuk menutup bagian-bagian motif yang besar misalnya daun dan bunga.
b.      Pewarnaan
Setelah tahap pemberian lilin selesai, proses selanjutnya adalah pewarnaan. Proses pewarnaan ada beberapa tahapan seperti pada tahapan pemberian lilin. Jadi, untuk mendapatkan warna yang beraneka macam diakukan proses pemberian lilin dan pewarnaan yang berganti-ganti. Contoh pemberian warna untuk mendapatkan warna hijau maka mori dicelup pada warna berikutnya.
Pada proses pewarnaan ini ada beberapa macam cara tergantung pada jenis pewarna yang digunakan seperti naphtol, indigosol, dan prosion.
c.       Penghilangan Lilin (pelorodan)
Apabila tahap pewarnaan sudah selesai atau tidak ditutup lagi dengan lilin batik maka lilin yang menempel pada mori perlu dihilangkan. Proses penghilangan lilin atau bisa disebut pelorodan adalah proses terakhir dari pembatikan. Penghilangan lilin dilakukan dengan proses sebagai berikut:
1)      Rebuslah air didalam tempat/ bak untuk proses pelorodan
2)      Masukkan TRO secukupnya (dapat diganti dengan sabun cuci bubuk)
3)      Setelah air mendidih maka masukkan mori yang telah diproses tersebut kedalam bak air. Mori diangkat berkali-kai sampai lilin-lilin yang menempel lepas dan hilang.
4)      Setelah semua noda-noda lilin yang menempel benar-benar bersih kain diangkat dan dibilas atau dicuci dengan air dingin.
5)      Mori dijemur ditempat yang teduh untuk kain yang memakai pewarna indigoso dapat dijemur ditempat yang agak panas.
Setelah proses nglorod selesai maka terlihatlah sebuah pola batik pada mori dengan kombinasi warna sesuai yang dikehendaki.

 IV.            KESIMPULAN
1.      Batik secara historis berasal dari nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk  binatang dan tanaman. Dalam sejarahnya batik mengalami perkembangan yaitu dari corak binatang dan tanaman lambat  laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya.
2.      Batik nusantara
a.       Mojokerto dan Tulungagung
b.      Ponorogo
c.       Kebumen
d.      Banyumas
e.       Pekalongan, dll.
3.      Koleksi batik Jawa Tengah
a.       Batik Parang Barong
b.      Batik Sido Mukti
c.       Batik Truntum
d.      Batik Jlamprang
4.      Proses pembuatan batik
a.       Membatik kerangka.
Proses pertama membatik ini,adalah proses membuat motif pada kain
b.      Ngisen-iseni.
Ini adalah tahap kedua daam proses membatik. Kata ngisen-iseni berarti mengisi, jadi tahap ngisen-iseni ini merupakan proses mengisi motif pada kain klowongan. Setelah melewati tahapan ini, kain tidak lagi disebut klowongan, melainkan disebut ngengrengan
c.       Nerusi.
Tahapan ketiga dalam proses membatik ini adalah proses penyelesaian. Pada tahapan ini, kain yang telah berupa ngengrengan itu kemudian dibalik, dan proses yang sama, pada tahapan pertama dan kedua dilakukan pada sisi kain ini. Kain hasil proses nerusi ini masih disebut sebagai Ngengrengan.
d.       Nembok.
Sebuah batikan ada kalanya memiliki bagian yang berwarna putih, atau akan diberi warna yang berbeda dengan warna dasar. Bagian ini biasanya ditutupi maam dengan canting besar pada tahap empat, yang dikenal sebagai nembok. Bagian yang ditembok biasanya adalah bagian disela-sela motif utama. Proses nembok ini hanya dilakukan di satu sisi saja, yaitu bagian kain yang ada disebelah luar ketika dikenakan.
e.        Bliriki.
Ini adalah proses terakhir dalam membatik sebelum kain mengalami proses pewarnaan, proses bliriki ini dilakukan untuk menyempurnakan proses nembok. Pengrajin batik,memeriksa seluruh bagian yang ditemboki, dan jika ada yang terlewat menutup bagian tersebut hingga sempurna, maka selesailah proses membatik ini. Kain siap menjalani proses pewarnaan.


    V.            PENUTUP
Demikianlah laporan yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan laporan-laporan selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.










DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin. Pendidikan Psikologi Perkembangan. Ar-ruz Media. Jogjakarta. 2010.
Baharuddin. Psikologi Pendidikan Refleksi Teoritis Terhadap Fenomena. Ar-ruz Media. Jogjakarta. 2010.
Dalyono. M. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. 2009.
Rohmah. Noer. Psikologi Pendidikan.Teras. Yogyakarta. 2012.
Imran. Teori Belajar Psikologi Pendidikan. 2011 / http : // Teori- Belajar- Psikologi- Pendidikan / 2013 / 06 / 03 / 13:30

INTERRELASI NILAI JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK ARSITEKTUR



     I.               PENDAHULUAN
Islam Jawa sering dipandang sebagai Islam sinkretik atau Islam nominal, yang konsekuensinya Islam Jawa bukanlah Islam dalam arti sebenarnya. Atau “kurang Islam”, bahkan “tidak Islam” pendapat ini dibuktikan dari pendapat beberapa ilmuan seperti Robert F.Hefner, C.C. Berg, dan Geertz.[1]
Oleh karena itu, penting pula memahami interpelasi Islam Jawa pada bidang arsitektur. Mengingat arsitektur (secara fisik) menunjukkan keberadaan perkembangan budaya suatu daerah. Misalnya dari bangunan tempat ibadah, makam, tata ruang kota, dll.
    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Sejarah Arsitektur dalam Islam?
B.     Apa saja macam-macam Arsitektur Jawa Islam?
C.     Bagaimana pola internalisasi Arsitektur Jawa Islam?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Sejarah Arsitektur Dalam Islam
Dalam sejarah peradaban agama islam,masjid di anggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam islam,yakni dengan di bangunnya masjid Quba oleh rosulullah SAW sebagai masjid yang pertama.[2]
Awal mula bangunan masjid Quba sangatlah sederhana sekali ,dengan lapangan terbuka sebagai intinya,dan penempatan mimbar pada sisi dinding arah kiblat,serta di tengah-tengah lapangan terdapat sumber air untuk bertujuan bersuci,masjid Quba ini merupakn karya sepontan dari masyarakat muslim di madina pada waktu itu .bangunan masjid Quba di sebut para ahli sebagai masjid arab asli.namun,kiranya arti lebih luas adalah bahwa masjid Quba telah menampilkan dasar pola arsitektur masjid yang lebih mengedepankan makna dan fungsi minimal yang harus terpenuhi dalam bangunan sebuah masjid.[3]
Sementara itu, sebelum Islam masuk di Jawa masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai seni asli Jawa maupun jenis bangunan seperti kuburan, candi, keraton, benteng, meru, rumah joglo, relief pada bangunan gapura, tata wayang pada rumah, dan padepokan.
Oleh karena itu, ketika Islam masuk di Jawa arsitektur Jawa tidak dapat dinafikan oleh Islam. Jadi, agar Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka simbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan Muslim Jawa dalam karya arsitektur.[4]

B.     Macam-macam Arsitektur Jawa Islam
Banyak arsitektur jawa yang bercorak Islam, dimana terjadi asimilasi diantara dua kebudayaan tersebut,diantaranya:
1.    Masjid
Masjid sebagai tempat yang secara khusus untuk beribadah kepada Allah SWT, mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi umat Islam. Masjid juga digunakan untuk berdoa dan memohon kepada Allah atas segala sesuatu yang menjadi keinginan serta tujuan manusia.[5]
Di berbagai tempat dimana Islam tumbuh, masjid telah menjadi bangunan penting dalam syiar Islam. Masjid dijadikan sebagai sarana penanaman budaya Islam sehingga dalam pengertian ini terjadilah pertemuan dua unsur dasar kebudayaan, yakni kebudayaan yang dibawa oleh para penyebar Islam yang terpaterai oleh ajaran Islam dan kebudayan lama yang telah dimiliki oleh masyarakat setempat. Di sini terjadilah asimilasi yang merupakan keterpaduan antara kecerdasan kekuatan watak yang disertai oleh spirit Islam yang kemudian memunculkan kebudayaan baru yang kreatif, yang menandakan kemajuan pemikiran dan peradabannya. Oleh karena itu keragaman bentuk arsitektur masjid jika dilihat dari satu sisi merupakan pengayaan terhadap khazanah arsitektur Islam, pada sisi yang lain arsitektur masjid yang bernuansa local secara psikologis telah mendekatkan masyarakat setempat dengan Islam.
Masjid sebagai arsitektur Islam merupakan manifestasi keyakinan agama seseorang. Oleh karena itu, tampilan arsitektur Islam tidak lagi hanya pada masjid, tetapi telah tampil dalam bentuk karya fisik yang lebih luas.[6]
2.    Makam
Di Jawa makam merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral, bahkan sebagian cenderung dikeramatkan. Dilihat dari corak arsitekturnya terdapat beberapa bentuk. Ada yang sederhana dengan hanya ditandai batu nisan seperti makam Fatimah binti Maimun, 1428 atau makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, 1419 dll.
Adapun untuk penempatannya ada yang menyatu dengan komplek masjid seperti sunan Kudus, makam Raden Patah. Bangunan makam Sunan Kudus yang arealnya dikelilingi bangunan yang berlapis-lapis mengingatkan kita pada bentuk bangunan kedhaton pada keraton jaman kerajaan Hindu dengan lawanng korinya. Tampilnya berbagai seni hias dan stereotipe candi pada beberapa makam di Jawa menunjukkan adanya bukti interelasi budaya Jawa dan Islam dalam arsitektur makam.
Berikut terdapat tradisi penguburan jenazah yang didasarkan pada hadits Nabi:
a.)  Kuburan lebih baik ditinggikan dari tanah sekitar agara mudah diketahui (HR. Baihaqi).
b.) Membuat tanda kubur dengan batu atau benda lain pada bagian kepala (HR. Abu Daud).
c.)  Dilarang menembok kuburan (HR. Tirmidzi dan Muslim).
d.) Dilarang membuat tulisan diatas kubur (HR. An-Nasa’i).
e.)  Dilarang membuat bangunan diatas kubur (HR. Ahmad dan Muslim).
f.)  Dilarang menjadikan kuburan sebagai masjid (HR. Bukhari dan Muslim).[7]
3.    Tata Kota Islam
Secara tidak langsung, arsitektur dan tata kota Islam bertautan dan dipengaruhi oleh Hukum Ilahi atau Syari’ah, yang mencetak kehidupan individu Muslim dan kehidupan komunitas Islam sebagai satu keseluruhan. Hukum Ilahi itu sendiri berasal dari wahyu Islam dan sekalipun tidak mencipta arsitektur atau tata kota, ia benar-benar melengkapi arsitektur itu dengan latar belakang sosial dan manusiawi yang secara sakral mempunyai asal usul yag supra manusiawi. Karenanya, arsitektur dan tata kota Islam, dalam bentuk tradisional dicipta, dibentuk, dan dipengaruhi oleh agama Islam dalam prinsip-prinsip batini, bahasa simbolik dan landasan-landasan intelektual mereka, dan juga oleh penataan manusiawi dan sosial untuk mana mereka dipergunakan sebagai kerangka eksternal.[8]
C.    Pola Internenalisasi Arsitektur Islam Jawa
Internalisasi islam dalam arsitektur di jawa sebenarnya sudah dapat di lihat sejak awal islam masuk di jawa.mengingat bahwa salah satu saluran penyebaran islam di jawa di lakukan melalui karya seni arsitektur,di antaranya adalah bangunan masjid.[9]
Sementara itu,sebelum islam masuk di jawa masyarakat jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur,baik yang di jiwai nilai asli jawa maupun yang telah di pengaruhi oleh hindu budha dimana di jawa telah berdiri berbagai jenis bangunan seperti bangunan candi, keraton, benteng, kuburan, meru, rumah joglo, relief pada bangunan gapura, tata ruang desa/kota yang memiliki konsep mencapat,hiasan toko wayang pada rumah, kuburan dan padepokan.
Oleh karena itu ketika islam masuk di jawa keberadaan arsitektur jawa yang telah berkembang dalam konsep dan filosofi tidak dapat di nafikan oleh islam.agar islam dapat di terima sebagai agama orang jawa, maka simbol-simbol orang islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep jawa, yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasi dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim jawa dalam karya arsitektur.
Kondisi ini dapat kita temukan pada bangunan menara masjid Kudus {masjid al aqso}yang di bangun oleh sunan kudus dengan ciri yang khusus dan tidak di dapatkan pada bentuk bngunan masjid di manapun, yakni bentuk bngunan menara yang mirip dengan meru ada bangunan hindu lawang kembar pada bangunan utama masjid dan pintu gapura serta pagar yang mengelilingi bangunan masjid dan kesemuanya bercorak bangunan hindu dan bentuk susunan bata merah tanpa perekat yang mengingatnya pada bentuk bangunan kori pada kedhathon di komlek kerajaan hindu.
Bentuk bangunan menara masjid Kudus yang demikian di maksudkan untuk menarik simpati masyarakat hindu pada waktu itu untuk memeluk islam. Kecuali itu, menurut Foklore, bangunan tersebut menunjukkan keyakinan akan kedigdayaan sunan kudus sebagai penyebar islam dimana bangunan menara kudus di percaya sebagai bangunan yang di buat oleh sunan kudus dalam waktu semalam dan terbuat dari sebuh batu merah yang terbungkus dalam sapu tangan yang berasal dari makkah.[10]
Selain menara masjid Al-Aqsha di Kudus, bentuk bangunan masjid yang bercorak khas Jawa yang lain adalah bangunan masjid yang bercorak khas Jawa yang lain adalah bangunan masjid yang memakai bentuk atap bertingkat/tumpang (dua,tiga,lima, atau lebih), dan pondasi persegi. Pondasi yang persegi ini sisinya tepat berada pada arah mata angin. Selain soko gurunya juga membentuk sebuah persegi, terdapat pla ciri khas mimbar dengan pola ukiran teratai, mastaka atau memolo, disebelah timur terdapat pintu masuk dan diperluas dengan adanya serambi, ditengah-tengah tembok sebelah barat ada bangunan menonjol untuk mihrab yang berbentuk lengkung pola kalamakara,  dan dibagian selatan ada bangunan tambahan yang dihubungkan dengan jendela dan pintu kebagian dalam yang sering disebut dengan pawestren (krama)/pangwadon (Ngoko), yaitu tempat khusus untuk raja atau sultan pada waktu salat jum’at.[11]
Masjid di jawa biasa di lengkapi dengan beduk dan kentongan sebagai bertanda masuknya waktu sholat, pada masanya di anggap sangat efektif sebagai sarana komunikasi. Ciri-ciri bangunan masjid seperti itu dapat kita temui hampir dalam semua bangunan masjid kuna di jawa seperti masjid dekat makm raja kuta Gede dan Imogiri, masjid di giri masjid demak, dan kebanyakan masjid – masjid di jawa.[12]      

 IV.            KESIMPULAN
Kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah:
a.       Dalam sejarah peradaban agama islam,masjid di anggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam islam,yakni dengan di bangunnya masjid Quba oleh rosulullah SAW sebagai masjid yang pertama.
b.      Banyak arsitektur jawa yang bercorak Islam, dimana terjadi asimilasi diantara dua kebudayaan tersebut,diantaranya:
1.)    Masjid
2.)    Makam
3.)    Tata kota
c.       Internalisasi islam dalam arsitektur di jawa sebenarnya sudah dapat di lihat sejak awal islam masuk di jawa.mengingat bahwa salah satu saluran penyebaran islam di jawa di lakukan melalui karya seni arsitektur,di antaranya adalah bangunan masjid.

    V.            Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.















DAFTAR PUSTAKA

Amin, Darrori, Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gama Media. 2002.
Djoened P, Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 1984
Nasr, Seyyed Hossein, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Bandung : 1994
Prasetyo, Hendro. “Mengislamkan Orang Jawa”:Antropologi Baru Islam Indonesia. Dalam Jurnal ISLAMIKA No. 3 Januari-Maret 1994.
Resi, Maharsi, Islam Melayu VS Jawa Islam,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010
Rochym , Abdul, Sejarah Arsitektur Islam, Angkasa, Bandung, 1983



[1] Hendro Prasetyo. “Mengislamkan Orang Jawa”:Antropologi Baru Islam Indonesia. Dalam Jurnal ISLAMIKA No. 3 Januari-Maret 1994.
[2] Abdul Rochym,Sejarah Arsitektur Islam, Angkasa, Bandung, 1983, hlm. 26
[3] Abdul Rochym,Sejarah Arsitektur Islam, Bandung:Angkasa, 1983, hlm.32
[4] Darrori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gama Media. 2002.hlm.188
[5] Maharsi Resi, Islam Melayu VS Jawa Islam,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010,hlm.188
[6] Darrori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gama Media. 2002.hlm.187
[7]Darrori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gama Media. 2002.hlm.195
[8] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern,Bndung : 1994.hlm.243
[9] Marwati Djoened P.dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 192
[10]Darrori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gama Media. 2002.hlm.189
[11] Marwati Djoened P.dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 193
[12] Darrori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gama Media. 2002.hlm.199